Senin, 20 Oktober 2008

Sayangku

Sayangku..

Tidak terasa ya? Sudah 1.5 tahun kita bersama. Suka, duka, tawa, tangis, sedih, bahagia semua bercampur aduk menjadi satu mewarnai perjalanan kita berdua. Bagaimana kamu tertawa, tersenyum, merengek manja, menggelayut dan tidur di dada sembari memainkan jemariku.

Aku masih ingat kok saat pertama kita berkenalan, saat pertama kali kamu balas emailku. Aku gak akan melupakan kata-kata marah darimu. Aku hanya tersenyum kecut walaupun akhirnya kamu jadi milikku.

Sayangku..

Aku tidak lupa kok saat pertama kali bertemu dirimu. Kita bertemu di stasiun bus itu, dengan manyun kamu melihatku. Salahku juga yang terlambat menemuimu dan langsung mengajakmu pergi makan karena aku lapar. Kamu kira aku cuek? Tidak..... aku panas dingin ketemu kamu, makanya aku berlagak cuek dan langsung mengajak pergi mencari makan. Sudah terlambat, gak minta maaf dan langsung ngabur aja.. begitu selalu sindirmu setiap saat kita mengenang masa lalu.

My dear,

Kita alami hari-hari yang menyenangkan, membayangkan kita bertemu setiap minggu. Meskipun aku masih sering terlambat, kamu masih tetap tersenyum. Senyum yang membuatku menenangkan hatiku. Kita makan, nonton, liat pameran komik, nongkong sembari ngopi di coffee bean tempat kita kencan pertama kali. Semuanya terasa menyenangkan, terasa indah. Saat itu juga kita membangun sebuah rumah dengan pondasi senyum, pengertian dan kepercayaan.

Hingga suatu saat...

Aku melakukan kebodohan , melakukan sesuatu yang membuatmu kecewa dan menangis. Saat itulah aku sadar, bahwa rumah itu tak akan sama lagi. Rumah itu telah berlubang dan lubang itu ada di dinding kepercayaan. Aku berusaha menutup lubang itu dengan kekuatanku yang tersisa di sela-sela kekecewanmu. Namun semua tak pernah sama dan tak akan pernah sama. Kamu mulai menanam bunga mawar disemua tembok yang berlobang.

Aku masih ingat saat kamu marah ketika ada foto seseorang yang sampai saat ini mengganggumu, yang membuatmu marah tersimpan di lemariku. Lemari yang seharusnya hanya untuk menyimpan fotomu dan segala tentangmu.

Saat itu juga aku sudah merasa kehilanganmu, kehilangan dirimu yang manis, yang tersenyum manja, yang mampu membuatku bersemangat. Aku kehilanganmu untuk kedua kalinya.

Dengan kecewa kau tanami lagi lobang itu dengan bunga mawar, kamu tanami semua tembok dengan bunga yang sama. Hingga rumah kita penuh dengan mawar. Indah, harum, namun berduri.

Sayangku,

Sejak saat itu, aku semakin kehilanganmu. Aku mencoba merengkuhmu lagi dengan segenap hati, tapi ternyata aku tak mampu. Duri-duri mawar yang kau tancapkan di rumah kita terlalu sering menyakitiku, membuatku berdarah dan terluka. Aku tahu, tidak akan mudah mengembalikan hal seperti semula saat kita pertama kali bertemu.

Aku lelah sayang, aku menanti dengan sabar kapan duri-duri itu akan patah dengan sendirinya. Tetapi duri itu makin kuat melukaiku. Membuatku berdarah dan jatuh mempertahankan rumah ini. Kamu tak lagi manis seperti dulu, aku benar-benar kehilanganmu. Aku tak menemukan diriku lagi, tak bisa kulihat lagi diriku yang dulu saat pertama kita masuki rumah ini.

Aku berkaca, wajahku luka, tanganku mengelupas, bibirku kering. Inikah aku? Inikah aku yang dulu berseri-seri saat melihat dirimu? Inikah aku yang dulu merona merah saat kau kecup bibirku pertama kalinya? Inikah diriku yang gugup menunggu kedatangamu saat kita ingin menghabiskan malam berdua?

Sayangku,

Duri itu terlalu melukaiku, kamu tidak seperti dulu, juga dengan aku. Aku mencoba bersabar, mendengarkan semua keluh kesahmu, yang kutimpali dengan senyum. Aku mencoba menerima protesmu, sungutmu dan semua kekesalan hari-harimu. Tidak, aku tidak ingin mengungkit tentang ”pamrih” yang menurutmu selalu ada didiriku. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum tanpa harus memberikan mawar berduri itu kepadaku lagi. Tapi pohon mawar itu semakin membesar memenuhi rumah kita. Rumah yang seharusnya nyaman untuk kita tinggali berdua.

Sayangku,

Tahukah kamu saat aku sakit setelah kita tertawa dan bermain air? Itulah pertama kali kamu memelukku dengan segenap hatimu. Pelukan hangat itu membuatku nyaman, pelukan itulah yang selama ini aku inginkan darimu. Bukan karena aku capek memelukmu bukan juga karena aku sudah bosan. Tapi kadang-kadang aku juga ingin kau memelukku, membelaiku dan membiarkanku menangis mencurahkan hatiku dalam pelukmu.

Sayangku,

Masihkah rumah kita bisa ditinggali kalau semuanya isinya mawar berduri? Ataukah aku harus keluar dari rumah ini sehingga kamu tak lagi menangis? Tak lagi khawatir? Tak lagi kesal tak lagi marah jika aku lupa tidak sms. Atau aku kecapekan dan tak memberi kabar untukmu?

Seandainya aku keluar dari rumah kita, aku tidak akan jauh-jauh darimu. Aku akan membangun rumah di sebelah rumah kita dahulu. Seandainya mawar itu juga melukaimu, berteduhlah di rumahku. Akan kusajikan teh hangat untukmu.

Aku tahu tidak ada orang yang mencintaiku sebesar dirimu. Tapi kebesaran cintamu itu juga membuat mawar di rumah kita juga menjadi tak terkendali. Dan itu menyakiti kita berdua.

I love you..